Monthly Archives: Oktober 2007

Memahami Sekularisme dan Liberalisme

Sebagai sebuah hasil dari sebuah pelatihan kepemimpinan 

Topik sekularisme dan liberalisme selalu hangat dan perlu untuk didiskusikan dari masa ke masa. Sejak masa John Locke (1632-1704) dan Immanuel Kant (1724-1804) -keduanya filsuf  Barat, bahkan di masa filsuf kenamaan Islam Abul Waleed Muhammad Ibnu Rusyd (1126-1198), sekularisme sudah diperdebatkan sebagai sebuah konsep dan cara pandang dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Sekularisme menyajikan konsep tegas tentang pemisahan negara dengan agama. Namun, tentu saja tetap mendukung kebebasan beragama dengan jaminan sepenuhnya oleh negara. Sekularisme adalah salah satu komponen dasar demokrasi liberal dan suatu prasyarat untuk memajukan hak asasi manusia.[1] 

Presentasi, tanya-jawab, panel diskusi, kelompok kerja, perdebatan dan perbedaan pandangan mewarnai Pelatihan Kepemimpinan tentang “Sekularisme dan Liberalisme” di Gummersbach, Republik Federal Jerman pada 23 September – 5 Oktober 2007. Selama kurang lebih dua minggu, 23 peserta dari 21 negara mendiskusikan dua topik ini di Theodor-Heuss-Akademie. Latar belakang profesi yang berbeda, seperti politikus, periset, jurnalis, mahasiswa, dosen, pendeta, pengacara dan anggota kongres, membuat diskusi menjadi kaya akan sumbangan pengalaman masing-masing peserta.   

Asal negara peserta juga menambah hangat beberapa materi pelatihan yang dibahas sesi demi sesi, hari ke hari. Asia mengirimkan paling banyak wakilnya, delapan peserta (Filipina, India, Libanon, Malaysia, Pakistan, Palestina, Sri Lanka, Thailand dan Indonesia –dua orang). Eropa, lima  peserta (Azerbaijan, Israel, Rusia, Turki dan Ukraina) dan Afrika, empat peserta (Afrika Selatan, Ghana, Mesir dan Tanzania) serta benua Amerika dengan tiga peserta (Argentina, Guatemala dan Nikaragua). Konteks agama mayoritas di masing-masing negara peserta menjadi faktor penting dalam mendiskusikan sekularisme; dan dinamika sosial politik mereka adalah hal menarik dalam pembahasan seputar liberalisme. 

Turki misalnya, apakah bentuk negara sekuler mereka yang digagas Mustafa Kemal Atatürk sejak 1920an dapat dijadikan salah satu model terbaik dari penerapan sekularisme? Menurut Sanem Guner, peserta asal Turki, ternyata belum.[2] Dalam banyak hal ia setuju dengan penerapan sekularisme di negerinya. Namun, untuk persoalan larangan mengenakan hijab (atau jilbab) bagi mahasiswi di universitas, ia dan banyak muslim lainnya sangat tidak sepakat. Bagi Sanem, negara paling sekuler pun harus tetap menjamin kebebasan menjalankan keyakinan agama bagi setiap warga negaranya. Dalam hal ini, negara tidak perlu mencampuri keinginan warga negaranya dalam menjalankan syariat agama mereka masing-masing, termasuk menggunakan simbol-simbol keagamaan seperti hijab, kalung salib, dan lain lain. Ini seharusnya menjadi bagian terpenting dalam penerapan sekularisme, yaitu jaminan atas kebebasan dan hak individu.  

Contoh negara sekuler lainnya adalah Jerman. Dr. Stefan Melnik, fasilitator utama dalam pelatihan ini mengutarakan, Jerman tidak sepenuhnya melarang mahasiswi atau siswi di sekolah dasar dan menengah mengenakan hijab. Negara membolehkan mereka melakukannya di sekolah swasta, tetapi tidak di sekolah publik. Argumennya, karena sekolah-sekolah publik dibiayai dari pajak setiap warga negara dengan latar belakang agama yang berbeda. Oleh karena itu, negara melarang pemakaian simbol-simbol keagamaan di sekolah-sekolah tersebut.      

Selain Dr. Stefan Melnik, seminar juga difasilitasi Enikö Gal, seorang pengacara Hungaria yang aktif dalam penanganan isu-isu seputar hak asasi manusia dan seorang fasilitator tamu dari Thailand Dr. Busarin Dusadeeisariyawong, program manajer Friedrich-Naumann Yayasan untuk Kebebasan di kantor Bangkok. 

Banyak hal yang dibahas dalam kaitannya dengan sekularisme, diantaranya Refleksi tentang agama di dunia kita, seperti Berbagai keuntungan dari agama; Alternatif agama – dapatkah bekerja?; Agama sekuler: Marxisme dan Fasisme sebagai agama; Bisakah agama hidup berdampingan dengan agama lainnya, dengan agnostisisme dan dengan atheisme?; dan Apakah beberapa agama atau sistem kepercayaan bersifat superior dari yang lain?. Selain itu, juga didiskusikan dalam kelompok kerja tentang Bagaimana menghadapi sifat eksklusif agama, tidak toleran dan fundamentalisme? Apakah agama mempunyai panduan tentang ini atau harus mencarinya diluar itu?; Seberapa toleran agama dapat dan harus lakukan?; serta Apa sesungguhnya makna dari “hak untuk menjalankan agama seseorang dengan bebas”? 

Pembahasan khusus mengenai sekularisme juga dilakukan dalam beberapa sesi dan kelompok kerja, seperti membahas Sekularisme – apakah itu? Sesuatu yang baik atau buruk? Suatu ideologi atau konsep? Apakah sekularisme menyiratkan lebih dari separasi/pemisahan agama dan negara? Apakah sekularisme = laisisme?;[3] dan Apakah sekularisme sebuah ancaman bagi agama? Haruskah ini? Sedangkan mengenai topik liberalisme, pelatihan membahas tentang Apa itu liberalisme?; Apakah liberalisme sebuah ideologi, sebuah kepercayaan atau sebuah kerangka berpikir?; Kaum liberal dan agama: Apakah kesalahpahaman antara “kaum beragama” dan kaum liberal adalah persoalan atau adakah jurang yang lebih besar?. 

Isu ini dibahas lebih lanjut dalam tiga kelompok kerja. Kelompok pertama membahas Mengapa banyak pemimpin agama dan kaum tradisionalis mempertimbangkan liberalisme sebagai musuh? Bagaimana kaum liberal seharusnya menyikapi?. Kelompok lainnya membahas Apakah liberalisme mewakili “imperialisme” dari nilai-nilai Barat dan sebuah kemunduran dari standar moral? Apa yang kaum liberal katakan sebagai pembelaan?; dan Apakah mungkin seorang liberal menjadi bagian dari sebuah kelompok agama? Mengapa? Mengapa tidak?.     

Masih ada kaitannya dengan topik sekularisme dan liberalisme, pelatihan juga mengadakan diskusi panggung dengan menghadirkan empat panelis untuk masing-masing diskusi yang setuju dan tidak setuju mengenai dua persoalan: – Kekerasan, dikeluarkan dari lingkungan dan diskriminasi dalam konteks antar budaya: Berapa banyak agama disalahkan? Apa yang dapat kita lakukan?; dan – Pengguguran kandungan: hak otonom perempuan untuk melahirkan atau hak anak/bayi untuk hidup? Bagaimana kaitan antara sekularisme dan liberalisme juga menjadi salah satu topik menarik dalam pelatihan, misalnya: Hubungan antara sekularisme dan komitmen kaum liberal untuk kebebasan, hak asasi, toleransi dan kepastian hukum (rule of law) – Haruskah liberalisme menjadi sekular dalam orientasi? – Mempertahankan kebebasan dan mengatasi ancaman-ancaman terhadap sekularisme. 

Tentang kepastian hukum ini, diskusi juga membahasnya lebih lengkap lagi, yaitu: Kepastian hukum tanpa sekularisme?; Apa itu kepastian hukum?; Apakah kepastian hukum menghalangi posisi kekuatan agama dalam negara dan sistem perundang-undangan?; dan juga dibahas tentang Hak-hak politik dan kebebasan sipil tanpa sekularisme? Merujuk pada Artikel 18 Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia:   

“Setiap orang mempunyai hak untuk kebebasan berpikir, suara hati dan agama; hak ini meliputi kebebasan untuk mengubah agama atau kepercayaannya, dan kebebasan, walaupun sendiri atau dalam masyarakat dengan yang lain dan dalam ruang pribadi atau publik, untuk menjadikan agama atau kepercayaan dalam pengajaran, praktik, ibadah dan ketaatan.”              

Isu lainnya seputar sekularisme dan liberalisme yang didiskusikan adalah Konsekuensi sekularisme atas hubungann antara agama dan negara. Isu ini dibagi dalam tiga topik dan dibahas dalam tiga kelompok kerja: –  Penghinaan pada Tuhan/Nabi/agama (blaspemi) atau kritik yang sah/diperbolehkan? Dapatkah kaum liberal berkompromi pada kebebasan berekspresi?; – Agama dan pendidikan? – Haruskah agama menjadi bagian dari kurikulum dan haruskan lembaga keagamaan menjalankan sekolah-sekolah publik? – Keuntungan-keuntungan sekularisme untuk warga Negara secara individu dan untuk lembaga keagamaan; serta mengenai Haruskah kaum liberal menciptakan negara sekuler dan melindunginya dari berbagai ancaman? Apa ada alternatif lainnya? 

Pelatihan ini juga mengadakan survei kecil dengan mengedarkan kuosioner kepada seluruh peserta dan juga fasilitator. Kuosioner berisi puluhan pertanyaan seputar gagasan pemisahan negara dan agama serta membangun pola hubungan baru antara negara dan agama. Hasil survei kemudian dipresentasikan di ruang kelas dan lalu didiskusikan. 

Pembahasan tentang sekularisme dan liberalisme juga diselingi dengan pemberian kuliah dari beberapa nara sumber tamu kemudian diikuti dengan sesi tanya-jawab. Kuliah-kuliah itu adalah: “Nilai-nilai liberal dan persepsi liberal tentang agama – beberapa pemaparan dalam sejarah liberalisme” disampaikan Sascha Tamm, dari Liberal Institute of the Friedrich Naumann STIFTUNG FÜR DIE FREIHEIT; “Pembebasan perempuan: apakah hukum-hukum anti-diskriminasi sudah cukup atau ada hal lain yang kita butuhkan?” disampaikan Dr. Rheda Tretow dari oraganisasi TERRE DES FEMMES; “Liberalisme dan hubungannya antara Gereja dan Negara di Jerman – sebuah tinjauan sejarah (mulai dari zaman kerajaan, konstitusi Weimar tahun 1919 hingga masa reunifikasi Jerman tahun 1990)” dipresentasikan Dr. Jürgen Frolich dari Archive of Liberalism at the Theodor Heuss Academy; dan “Isolasi atau ikatan membangun? Jenis hubungan apa antara agama dan negara yang dikehendaki FDP hari ini?” oleh Hans-Michael Goldmann, anggota parlemen, seorang komisioner untuk persoalan gereja dari kelompok Partai Liberal di Bundestag (parlemen Jerman). 

Selain program-program di ruang kelas, pelatihan kepemimpinan tentang “Sekularisme dan Liberalisme” ini juga melakukan kunjungan dengan beberapa lembaga yang berkaitan dengan kedua topik ini.

Di Köln, tepatnya di Town Hall, para peserta didampingi fasilitator dan direktur Theodor-Heuss-Akademie Dr. Birgit Lamm bertemu dan berdiskusi dengan Ralph Sterck, Ketua Partai Liberal di Dewan Kota Köln dan Ikbal Kilic, juru bicara Diyanet Isleri Türk Islam Birligi (DITIB) = Turkish Islamic Union of the Institute for Religion. Diskusi membahas kontroversi seputar konstruksi pembangunan sebuah masjid raya di Köln-Ehrenfeld dengan menara setinggi 50 meter (170 kaki). Kontroversi muncul berdasarkan polling dari warga kota yang mempunyai populasi penduduk muslim 120.000 orang (terutama keturunan Turki) itu. Hasil polling mengatakan 36% warga senang dengan rencana pembangunan masjid,  29% masih menunggu jika ada kemungkinan tinggi menara akan dikurangi dan 31% menolak.[4] Diantara yang setuju dengan rencana pembangunan masjid itu adalah Partai Liberal dan Pemimpin Gereja Katolik Roma. Namun, sebuah partai kanan “Pro Köln”, yang menduduki 5 dari 90 kursi di dewan kota, menyatakan tidak setuju. Ralph Giordano, seorang penulis Yahudi-Jerman dan korban selamat Holocaust, menggerakkan sebuah debat nasional dengan mengangkat pesan: “Saya  menghimbau walikota dan anggota  dewan kota untuk menghentikan pembangunan masjid ini!”. Menarik untuk dipelajari dari persoalan ini adalah bagaimana Republik Federal Jerman, terutama Dewan Kota Köln, sebagai negara sekuler untuk mengatasinya.  

Kunjungan lainnya adalah ke Dresden, dengan diselingi city tour ke kota Weimar, pergi ke bekas kamp konsentrasi Buchenwald di masa pemerintahan Hitler dan mengunjungi warisan budaya dunia “Wartburg” di Eisenach. Weimar, adalah kota bersejarah di Jerman. Pada abad ke 16 Weimar menjadi kota penting dengan pusat kebudayaannya. Pada 1919, Weimar adalah tempat Pertemuan Nasional Jerman yang mendirikan pemerintahan republik yang terkenal dengan nama “Republik Weimar”. Sedangkan Buchenwald yang letaknya tidak jauh dari Weimar, adalah kamp konsentrasi yang dibangun NAZI (1937 – 1945) untuk melakukan penyiksaan dan pembunuhan (melalui krematorium). Sekarang Buchenwald menjadi monumen memorial untuk mengenang 56.000 orang berdarah Yahudi dari berbagai negara di Eropa yang meninggal dunia disana. 

Di Dresden, para peserta melakukan beberapa pertemuan, seperti dengan Dr.-Ing. Hans-Joachim JÄGER, direktur dari proyek ”Membangun kembali gereja the Church of our Lady (Frauenkirche) – sebuah simbol dari komitmen warga” terhadap warisan sejarah Jerman yang hancur akibat Perang Dunia II; dengan Stefan SCHÄFER seorang Kepala Sekolah dari sekolah Katolik St. Benno untuk membahas tentang “Pendidikan keagamaan di sekolah-sekolah, status dan kontribusi sekolah berbasis agama pada sistem sekolah publik” dan pengalaman-pengalaman St. Benno mengenai isu ini; serta dengan Matthias Mitzscherlich, direktur Asosiasi Caritas untuk Diosis Katolik Dresden  tentang “Asosiasi Katolik Caritas, kerja-kerja sosial dan basis agamanya”.    

Setelah kunjungan tiga hari di Dresden, pelatihan dilanjutkan dengan curah pendapat dan pembahasan penutup tentang Bagaimana kita menjual gagasan negara sekuler? serta tentang Kontribusi kita terhadap proses mempromosikan sekularisme: Apa yang bisa kita lakukan sebagai individu, bagaimana kita dapat mengatasi bahaya-bahaya yang mungkin akan kita hadapi?  

Dan akhirnya, pelatihan selama kurang lebih dua minggu ini ditutup dengan Poin-poin kesetujuan dan ketidaksetujuan selama pelatihan berlangsung, pengertian yang mendalam dan pandangan utama dari seluruh proses pelatihan, seperti materi yang disampaikan, fasilitator, nara sumber tamu, dan lain-lainnya. 

Penutup

Pelatihan kepemimpinan tentang Sekularisme dan Liberalisme ini merupakan yang pertama kali diselenggarakan Theodor-Heuss-Akademie bekerjasama dengan Yayasan Friedrich-Naumann untuk Kebebasan. Kemungkinan besar topik ini juga akan kembali diangkat pada tahun-tahun berikutnya. [5]

Saya, sebagai salah seorang alumni dalam pelatihan ini sangat mendukung rencana tersebut, karena topik ini memang masih sangat aktual dan penting bagi negara-negara di dunia, terutama negara berkembang, untuk selalu diperbincangkan, dipahami dan dicarikan jalan keluar terhadap berbagai persoalan yang berkaitan dengan hubungan antara negara dan agama.  

Untuk konteks Indonesia, supaya kita lebih mengenal dan akhirnya memahami sekularisme dan liberalisme, baik dalam terminologi maupun sebagai konsep berpikir. Sebagai seorang jurnalis dan pekerja media (pelatih dan fasilitator dalam berbagai pelatihan atau lokakarya pengembangan media), saya merasakan banyak manfaat yang akan didapat orang media dari pelatihan semacam ini dalam menjalankan tugas mereka sehari-hari dan dalam menyampaikannya kepada publik tentang pemahaman sebenarnya dari sekularisme dan liberalisme.   

Jika harus ada kritik yang disampaikan untuk perbaikan dalam pelatihan tentang topik ini di masa datang, adalah tentang waktu presentasi nara sumber tamu sebaiknya dipersingkat sehingga waktu untuk tanya-jawab dan diskusi akan lebih panjang. Dan demi kelancaran dan kekhusyu’an peserta dan fasilitator selama di ruang kelas, sepatutnya peserta tidak diizinkan untuk menghidupkan lap top mereka kecuali untuk keperluan kelompok kerja dan presentasi hasil-hasilnya. 

Ucapan terima kasih tak terhingga saya (dan juga peserta lainnya pada saat evaluasi pelatihan) layangkan kepada para fasilitator, terutama Dr. Stefan Melnik yang telah memandu dan mengatur ritme pelatihan dan diskusi menjadi kaya perdebatan tetapi amat menyenangkan. Peran para fasilitator sangat menentukan kesuksesan pelatihan kepemimpinan tentang sekularisme dan liberalisme ini.  

Sebagai tempat bertemunya 23 orang dari empat benua dan 21 negara, pelatihan ini menjadikan saya dan peserta lainnya menambah pengalaman, pengetahuan baru dan pertukaran gagasan serta pemahaman terhadap topik-topik yang didiskusikan. Meskipun tetap selalu saja ada perbedaan pendapat, bahkan tak jarang kami tidak sepakat dengan hasil dari kelompok kerja kami sendiri, waktu selama dua minggu itu telah membuat kami dalam ikatan persaudaraan yang erat.  Sesudah pelatihan berlangsung dan para peserta telah kembali ke negara dan tempat kerja masing-masing, kami tetap saling berhubungan melalui e-mail dan miling list untuk melanjutkan diskusi seputar sekularisme dan liberalisme, dengan mengirim artikel yang berkenaan dengan kedua topik ini, atau sekadar menyapa satu dengan lainnya. Tentang miling list melalui yahoogroups yang telah alumni pelatihan bentuk itu bernama Religion and Beliefs dengan Khalil el Masry, peserta dari Mesir, sebagai moderatornya.[6] 

Terima kasih sebanyak-banyaknya saya sampaikan kepada Yayasan Friedrich-Naumann untuk Kebebasan (FNS) di kantor Jakarta yang telah memberikan kesempatan kepada saya untuk mengikuti pelatihan ini dan juga kepada Dr. Rainer Adam (saat itu sebagai Kepala Perwakilan FNS Indonesia) yang telah mendukung saya mengikuti pelatihan ini serta memberikan semangat kepada saya untuk selalu giat melakukan kerja-kerja pengembangan media di Indonesia. 

Saya percaya, dalam sekularisme keputusan dan tindakan manusia, terutama dalam ranah politik, harus didasarkan pada alasan logis dan akal sehat ketimbang berdasarkan pada keyakinan agama dan pengaruh-pengaruhnya. Sehingga setiap keputusan dan tindakan yang dihasilkan berpihak pada publik dan berlandaskan pada rule of law dan penghormatan setinggi-tinggi pada hak asasi manusia. 

Mengutip Abdullah Ahmad An-Naim (pria kelahiran Khartum, Sudan, seorang pakar Islam dan Profesor Hukum di the Emory Law School, Atlanta, Amerika Serikat), dengan pemikirannya yang sangat kontroversial: “Kita butuh negara sekuler untuk menjadi muslim yang baik,” katanya.[7]

Akhir kata, dalam kaitannya dengan pembahasan sekularisme, agama dan negara dalam konteks Indonesia sebagai negara berpenduduk muslim terbesar di dunia, saya bersetuju dengan An-Naim, bahwa: 

“Nilai-nilai Islam hanya bisa dihormati oleh penganutnya dan bukan oleh negara. Rahmatan lil alamin hanya bisa tercipta oleh masyarakat yang hidup dalam nilai-nilai Islam dan bukan dipaksakan oleh negara.” 

Jadi, negara sekuler untuk Indonesia: is it a good deal?   

 

Firmansyah MS

Peserta Pelatihan Kepemimpinan “Sekularisme dan Liberalisme”,

Mantan Training Manager Internews Timor-Leste,

Direktur Eksekutif P3Media (Pusat Pengkajian dan Pengembangan Media),

Jl. Tebet Barat 10A no. 48, Jakarta Selatan – Indonesia.

E-mail: firq1@yahoo.com      


[1] Eniko Gál: Introduction: the notion of “Secularism”, IAF Seminar on Secularism and Liberalism, September – October 2007.

[2] Ini berdasarkan pernyataan Sanem Guner, seorang periset dari Turkish Economic and Social Studies Foundation (TESEV) kepada penulis.

[3] Eniko Gál: Introduction: the notion of  “Secularism”, IAF leadership training on Secularism and Liberalism, September – October 2007: Persamaan keduanya adalah posisi negara menjadi netral terhadap agama. Namun, perbedaan terbesar antara kedua konsep ini adalah: sekularisme menuntut suatu pemisahan agama dan negara pada ruang publik sedangkan laisisme mengeluarkan/meniadakan agama dari ruang publik.  

[4] The economist: The politics of mosque-building: Constructing conflict, 30 Agustus  2007

[5] Berdasarkan  penjelasan fasilitator Dr. Stefan Melnik dan direktur Theodor-Heuss-Akademie Dr. Birgit Lamm

[6] Khalil adalah seorang IT System Analyst yang bekerja untuk Partai Roa’ya (Partai Front Demokrasi) Mesir. 

[7] Wawancara Pusat Berita Radio VHR (Voice of Human Right) – www.vhrmedia.com dengan Ahmad An-Naim di Jakarta dan dipublikasikan pada 3 Agustus 2007 dengan judul berita: Ahmad An-Naim: Negara Sekuler untuk Muslim yang Baik.